Sabtu, 22 September 2012

"Mereka" Tidak Sepantasnya Menghinakan Sang Nabi SAW


mereka-tidak-sepantasnya-menghinakan-sang-nabi-saw
Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad, wa ‘Ala Ali Sayyidina Muhammad, Wa shohbihi Ajmain. Rasulullah SAW tercinta adalah pembawa risalah Allah SWT Yang Maha Agung, ia adalah sejatinya makhluk yang memiliki sifat-sifat mulia demi mengemban tugas kenabian dan kerasulan itu. Demi murninya risalah itu sampai pada makhlukNYA, Allah SWT menanamkan sifat-sifat yang mulia itu pada diri sang Nabi.


Adalah ‘ Fatonah’ yang berarti pandai, cerdas, bijaksana, terampil. Beliau adalah nabi yang ummi ( tidak bisa baca tulis), yang kemudian Allah SWT utus Jibril AS untuk mengajari Rasulullah SAW membaca ( iqro ) dengan menyampaikan Wahyu pertamaNYA pada beliau di gua hira. Kepandaian beliau selagi masih remaja sangat mashur waktu itu, ia dapat melerai pertikaian antar suku Quraisy. Ia sering dijadikan duta perdamaian antar suku karena kecerdikannya dalam memecahkan suatu masalah.


Ia pribadi yang jujur sehingga di beri gelar Al- Amin yang artinya dapat dipercaya sehingga beliau memiliki sifat mulia ‘amanah’. Pada suatu ketika beliau berjanji dengan seseorang untuk bertemu di pasar pada pagi hari, sang Nabi datang pagi-pagi untuk menepati janjinya tapi orang yang berjanji tadi alpa dan ketika sore baru teringat ia punya janji dengan Rasulullah SAW. Ketika itu juga ia bergegas ke pasar dan masih mendapati sang Nabi di tempat yang telah dijanjikan.


Dan ketika beliau sering dihina oleh seorang Yahudi buta yang tua renta, setiap harinya ia menyumpah serapah dan memaki beliau di pinggir jalanan ramai. Tapi beliau mendatanginya ketika orang itu sakit, merawatnya dan menyuapi makanan ketika ia tidak bisa bergerak sama sekali. Berhari-hari beliau merawatnya, kemudian sang yahudi itu bertanya “ siapakah kamu wahai orang mulia?”. Beliau menjawab “ Muhammad Ibni Abdillah ‘. Serentak Yahudi itu tertunduk menangis, ia terharu karena hanya beliau yang sering ia caci maki yang merawatnya selama sakit dan menyatakan ia masuk islam karena keluhuran budi pekerti sang nabi.


Dan perkataan beliau selalu benar tidak pernah berbohong yang berarti beliau memiliki sifat ‘Sidiq’, itu terbukti ketika Khadijah istrinya mengutus pembantunya untuk mengawasi kepiawaian beliau dalam berdagang. Pembantunya itu menyampaikan bahwa beliau adalah orang yang jujur, sehingga barang dagangannya selalu habis terjual dan banyak mendapat untung.


Rasulullah SAW diberi tugas dan beban yang berat, dengan begitu beliau memiliki sifat yang ‘ tabligh’ betapa pun beratnya penyampaian risalah itu tetap beliau sampaikan pada umatnya. Sehingga terangkatlah umat ini dari lembah kehinaan menuju masa yang penuh hikmah dan barokah serta kemuliaan di sisi Allah SWT.


Lalu apa yang membuat mereka begitu benci pada sang Nabi? Apakah mereka telah membaca risalah dan ‘pitutur’ yang salah?.


Permulaan penghinaan yang begitu menggemparkan dunia adalah ketika murtad Salman Rusdhie menciptakan novel “ Satanic Verses” atau ayat-ayat setannya, sehingga mendiang Mullah Iran Ayatullah Agung Sayyid Musavi Ruhollah Khomeini waktu itu memfatwakan hukuman mati pada Rusdhie pada 1989.


Sahabat fillah lantas apakah kita akan berontak dan meronta meminta keadilan untuk sang Nabi? Demi rasa cinta pada beliau ingin rasanya saya penggal kepalanya dan menggantungnya. Tapi apakah itu sesuai dengan ajaran dan risalah beliau?


Yang terpenting adalah dengan mengutuk dan mengecam tanpa harus berbuat anarki yang berlebihan. Karena selemah-lemah iman adalah mengutuk dan mengecam kejahatan itu dengan hati, kalau sanggup suarakan dengan lantang tapi tetap tidak anarki, kalau benar-benar berkuasa gunakan tangan kekuasaan untuk menghukum langsung orang itu. Pendahulu Greet Wilders dan Bacile yaitu Salman Rusdhie hingga kini masih bernafas lega dan melenggang kemana pun ia suka, padahal ia sudah dihargakan Rp. 3.1 milliar oleh Khordad Foundation dari Iran.


Dalam kasus Salman Rushdie, kita patut menyimak apa yang pernah dinyatakan oleh Gus Dur pada kolom yang pernah ia tulis yang menyatakan bahwa umat Islam layak tersinggung dan marah, tapi mestinya tidak sampai overdosis. Gus Dur mengibaratkan kasus Salman Rusdhie itu seperti "orang gila yang melempar batu ke masjid." Melempar batu ke masjid jelas penghinaan. Tapi sudahlah, anggap saja si pelemparnya "orang gila." Kalau orang gila kita tanggapi berlebihan, bisa-bisa kita malah kehilangan kewarasan kita. Jadinya "gila kasus" juga.


Pandangan Gus Dur tentang "kasus gila dan gila kasus" tadi sepertinya cocok juga untuk menggambarkan "Innocence of Muslims." Sangat menghina Nabi dan melecehkan Islam, memang. Tapi anggap saja itu "kasus gila" yang dibuat oleh "orang gila". Menanggapinya dengan kemarahan yang overdosis hanya akan membawa kita pada "gila kasus”.


Yang jelas beliau SAW tidak pantas dihinakan oleh siapapun, karena sejatinya ia sudah mulia. Jangan sampai tindakan overdosis itu akan menghinakan umat Islam dan menjadikan mereka ‘menang’ karena umpan mereka sudah dimakan. Agar kita ‘gila kasus’ dan tidak bisa kontrol diri, sehingga kita seolah-olah menjadi ‘ terhina sehina-hinanya’. Wallahu Alam.



Dari berbagai sumber
Penulis : Mustopa, S.Pd
Serang – Banten.

Masukkan Email Anda untuk Langganan Artikel:

Delivered by FeedBurner